Saturday 21 May 2011

Indonesia Menuju (Piala Dunia) 2014 (2)

Masih dengan judul yang sama, intinya adalah tentang politik dan sepakbola Indonesia yang masih sedikit banyak berhubungan dengan kekisruhan dalam tubuh PSSI dan Kongres yang tanpa hasil yang penuh dengan debat pepesan kosong dan akibat egoisme masing-masing pemilik suara yang mengaku sah.
Campur tangan kepentingan politik dalam sepakbola Indonesia saya rasa sudah ada sejak lama. Beberapa waktu lalu bahkan ada partai politik yang menjadi sponsor pertandingan persahabatan antara tim nasional Indonesia dengan tim/klub top dunia. Kesan ini semakin menguat ketika menjelang dan selama pergelaran Piala AFF 2010 yang lalu di mana Indonesia (hanya) mampu menjadi finalis setelah ditekuk Malaysia dengan gol agregat 2-4. Salah satu televisi swasta milik keluarga Bakrie mendapatkan hak eksklusif untuk meliput segala kegiatan tim nasional Indonesia dan banyak agenda kegiatan tim nasional yang seharusnya berkonsentrasi pada pertandingan selama kejuaraan berlangsung, justru dipenuhi dengan kegiatan-kegiatan yang justru menurut saya tidak penting dan lebih banyak membuat tim kehilangan konsentrasi dalam kejuaraan tersebut.
Kemudian dalam Kongres PSSI tahun 2011 ini, sebagian calon yang maju dalam pemilihan ketua umum PSSI merupakan orang-orang yang memiliki kedekatan politik dengan partai politik tertentu. Tentu saja muncul tendensi bahwa , saat ini partai politik telah melebarkan sayapnya dan lebih tajam melirik PSSI sebagai sebuah sumber kekuatan yang patut untuk dikuasai. Bagaimana nantinya bila PSSi benar-benar dikuasai oleh kekuatan yang berasal dari partai politik dan banyak agenda politik yang nantinya justru memperburuk keadaan persebakbolaan Indonesia? Tentu akan banyak muncul argumen tentang hal ini. Namun, bila hasilnya sebaliknya, persepakbolaan Indonesia justru menjadi jauh lebih baik dan berprestasi (tingkat dunia), siapa yang peduli? Saya pun tidak peduli dengan siapa yang memimpin selama prestasi sepakbola Indonesia semakin baik dan mampu bersaing, paling tidak menjadi jawara di Asia Tenggara dan diperhitungkan di Asia, apalagi di tingkat dunia. Selain itu, akuntabilitas dan transparansi anggaran PSSI. Tentu saja saya seperti Anda yang juga tidak mau bila prestasi dalam sepakbola juga diikuti dengan prestasi korupsi dalam manajemen PSSI.
Terakhir, beberapa hari yang lalu saya melihat iklan di televisi dimana ada sebuah pencarian bakat sepakbola Indonesia yang disponsori oleh salah satu partai politik, sebut saja Partai Demokrat. Ini adalah hal yang sangat positif bagi saya pribadi, bahwa partai politik tidak hanya mengincar tampuk kekuasaan saja dalam kepemimpinan PSSI. Bagi saya, apa yang dilakukan mereka ini jauh lebih berarti karena mereka memilih untuk melakukan pembinaan yang artinya mereka turun langsung mengembangkan sepakbola Indonesia dengan melakukan pelatihan yang digadang-gadang memiliki kualitas tingkat dunia dan akan mengirimkan para pemain berbakat negeri ini untuk berlatih secara intensif di klub-klub top Eropa. Bagi saya pribadi, saya akan sangat menyarankan dan mendorong agar partai-partai lain juga melakukan hal yang sama, dengan begitu akan lebih banyak kesempatan bagi bakat-bakat lokal untuk unjuk kebolehan mereka dan menimba ilmu sepakbola yang dibutuhkan untuk bersaing dalam tingkat dunia. Namun, satu hal yang harus ditekankan, jangan sampai semua niatan baik dan program pembinaan tersebut berhenti sampai pada Pemilihan Umum 2014 nanti, dan setelah partai tertentu meraup suara dari para insan persepakbolaan negeri ini untuk memenangkan pemilu, pada saat itu juga semuanya terbengkalai dan anak-anak Indonesia yang memiliki bakat sepakbola jadi tidak memiliki kesempatan lagi untuk mengembangkan kemampuannya.

Jayalah Indonesia!!
Jayalah Sepakbola Negeriku!!
Jayalah Bangsaku!!!

Indonesia Menuju (Piala Dunia) 2014

Saya dapat menerka satu pertanyaan yang pertama kali terlintas dala benak para pembaca sekalian. “Mengapa saya memilih judul seperti itu?”. Saat menulis baris ini pun saya juga masih terus memikirkan, apa yang sebenarnya saya pikirkan tentang judul tersebut? apa yang ingin saya sampaikan kepada para pembaca sekalian? Apa yang ada di benak saya tentang rangkaian kata-kata itu?
Baiklah, saya akan memulai dengan kata pertama, yaitu “Indonesia”. Apa yang saya pikirkan tentang kata ini sebenarnya sangatlah banyak, dari hal yang konkrit berupa angka statistik yang dapat menjelaskan seperti apa sebenarnya kata “Indonesia” ini memiliki arti bagi sebagian orang, stereotip dari orang-orang yang saya kenal dan teman-teman saya, cerita-cerita heroik, patriotis, ironis, mitos dan legenda, sampai pada kebencian saya akan orang-orang yang berkuasa dulu dan sekarang. Namun, dari semua hal yang ada di pikiran saya, satu hal yang paling saya yakini sampai saat ini adalah : mimpi-mimpi tentang kata “Indonesia ini. Saya pernah bermimpi untuk negara Indonesia ini, sering malah, atau bahkan lebih tepat lagi, selalu. Begitu juga dengan orang-orang lain yang mencintai negeri ini seperti saya mencintainya atau justru mencintainya jauh melebihi rasa cinta saya. Dan, Anda juga pasti punya mimpi untuk Indonesia. Mimpi dan cita-cita yang pasti dan seharusnya tentang kehidupan yang lebih baik bagi anak cucu kita semua kelak. Mimpi dan cita-cita yang pasti dan seharusnya mampu membuat anak cucu kita semua menjadi (sangat) bangga menjadi orang Indonesia melebihi kita semua saat ini. Serta, mimpi dan cita-cita yang akan secara spontan mampu membuat kita tersenyum ketika mendengar kata “Indonesia” terucap dari mulut kita sendiri suatu saat nanti. . . . .
“Menuju”, saya tempatkan sebagai kata kedua untuk memberikan keterangan mengenai sebuah proses. Proses yang melibatkan kata pertama dan kata-kata lain yang mengikuti si empunya kata kedua ini.
Selanjutnya, adalah “2014”. Rangkaian angka yang pastinya akan merujuk pada bilangan tahun yang memiliki arti penting bagi kita semua. Saya ingin Anda semua membacanya seperti ini untuk pertama kali, : “Indonesia Menuju 2014”. Dan hal ini akan semakin memberikan gambaran yang jelas bagi Anda semua mengenai apa yang saya maksud dan ingin saya sampaikan. Ya, 2014 adalah tahunnya pemilihan umum di Indonesia. Saatnya kita menentukan pilihan pada partai politik mana yang akan berkuasa selanjutnya dan yang tak kalah penting adalah saatnya kita menentukan siapakah seseorang itu yang akan menjadi nakhoda kapal Nusantara yang pernah berjaya dan mengalahkan hantaman badai besar di beberapa jaman yang berbeda. 2014 adalah tahunnya bagi pembicaraan politik. Tiap orang yang sedang kongkow dari mulai yang ada di depan televisi ruang keluarganya masing-masing, di warung kopi pinggir jalan, angkringan, warung pecel lesehan, kampus, sampai tempat-tempat elit tidak akan bisa lepas dari pembicaraan yang namanya politik yang sangat membuat saya kebingungan untuk memahaminya selama saya menempuh pendidikan di bangku kuliah selama ini.
Tapi selain pemilu di negara Indonesia nanti, tahun 2014 juga akan menjadi tahunnya pagelaran pesta akbar betajuk “FIFA World Cup 2014”. Ajang pertarungan 32 tim sepakbola nasional terbaik di muka bumi ini akan diselenggarakan di Brasil, negara yang selama ini selalu menjadi negeri para dewa sepakbola di muka bumi ini, dan hal itu sudah mereka tegaskan dari awal dengan menambahkan gambar sebuah bola di bendera nasional mereka, bahwa setiap anak yang dilahirkan di tanah Brasil haruslah bisa membuktikan semuanya di lapangan, tidak hanya pandai beretorika seperti para politikus negeri ini yang terkesan bodoh (saya yakin Anda tau alasannya dan saya yakin Anda pasti berpikir bahwa kata “terkesan” perlu diganti dengan “memang”) dan juga korup.
Piala Dunia sepakbola selalu menjadi saat yang sangat berkesan bagi saya pribadi dan selalu saya tunggu setiap tahunnya. Sedangkan pemilu, saya masih sangat skeptis dengan hal ini, karena dari pemilu terakhir tahun 2009 yang lalu, situasi yang dituai negara ini dalam bidang politik sangatlah mengecewakan bagi saya pribadi. Demokrasi yang kebablasan. Banyak orang ingin jadi pejabat dan anggota DPR, bermuka malaikat saat kampanye pemilihan dan menjadi penjajah kejam seperti jaman pendudukan Jepang saat sudah terpilih dan berkuasa. Namun, saya tidak akan membahasnya lebih jauh lagi dan saya akan kembali pada topik utama tulisan saya ini. Semuanya adalah tentang politik dan sepakbola.
Ketika membicarakan gelaran Piala Dunia, setiap orang Indonesia pasti memiliki mimpi untuk melihat Tim Nasional negara ini bermain di sana dan bahkan menjuarainya. Tidak ada yang salah dengan mimpi itu semua karena, seperti kata pepatah, mimpi itu bebas, satu-satunya hal yang tidak dapat diatur oleh siapapun, tidak dapat dibatasi, tidak dapat dipenjara, tidak dapat dibunuh, bahkan bila kita mau, dengan sangat mudah kita dapat menjadi Tuhan dalam mimpi kita dan menentukan nasib kita masing-masing ataupun orang lain. Sekali lagi harus ada kata “namun” yang tegas di sini. Namun, bila kita melihat Kongres PSSI yang disiarkan oleh sebuah stasiun televisi swasta pada hari Jumat, 20 Mei 2011 yang lalu, kita harus akui bahwa kita masih sangat jauh dari semua mimpi-mimpi tadi. Debat pepesan kosong, perang ego, tidak adanya sikap hormat-menghormati maupun saling menghargai, dan yang terjadi akhirnya adalah apa yang disebut oleh para negosiator sebagai deadlock. Kisruh yang terjadi pada Kongres PSSI, hanyalah menunjukkan dan mempertegas bahwa mimpi-mimpi yang kita bicarakan untuk sepakbola Indonesia hanyalah milik para rakyat jelata yang suaranya tidak mungkin didengarkan oleh para elit. Sementara para elit tersebut, orang-orang yang mengklaim diri mereka sebagai “pengurus” organisasi persepakbolaan yang ada di Indonesia yang memiliki hak suara yang sah dalam Kongres, justru sibuk dengan agendanya masing-masing, entah dia yang berlagak untuk mencoba melindungi sepakbola Indonesia dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat Indonesia atau ada agenda lain yang bertema politik. Isu tentang adanya agenda politik dalam memperebutkan kekuasaan di PSSI ini sudah sangat santer berdengung bahkan jauh sebelum adanya kisruh antara PSSI dan Liga Primer Indonesia.
Jauh sebelum Kongres, kelompok pemilik suara yang sekarang menamakan diri Kelompok 78 menghendaki GT dan AP agar tetap dapat ikut bersaing dalam pemilihan ketua dan wakil ketua PSSI, sedangkan FIFA sebagai induk organisasi sepakbola dunia, berkali-kali telah menegaskan sikapnya bahwa mereka telah mencabut hak dari kedua nama tersebut untuk dapat dipilih. Namun sangat disayangkan bahwa mereka yang mengatasnamakan kelompok 78 itu tetap bersikukuh pada pendirian mereka dan masih saja tetap tidak bisa legowo untuk dapat menerima bahwa calon yang mereka usung tidak direstui oleh FIFA. Bila keadaan seperti ini terus, bukan tidak mungkin, seperti yang sudah diprediksikan oleh para pengamat sepakbola bahwa FIFA akan menjatuhkan sanksi keras pada Indonesia berupa pencabutan hak keikutsertaan dalam semua kompetisi di bawah naungan FIFA. Bila hal tersebut menjadi kenyataan berarti, tim nasional sepakbola kita hanya akan menjadi penonton saja ketika SEA Games dilangsungkan akhir tahun 2011 ini, dan yang lebih menyakitkan lagi adalah kita yang menjadi tuan rumahnya.
Saya hanya bisa menghela napas dalam berkali-kali. Kenapa untuk merebut kursi di Senayan dan tampuk kepresidenan, sampai-sampai sepakbola Indonesia dikorbankan seperti ini? Jujur sebenarnya saya berharap pada sosok GT dan AP untuk memulai membenahi persepakbolaan Indonesia yang carut marut dan sarat tuduhan korupsi dibawah pemimpin sebelumnya. Namun bila kemudian menjadi seperti ini, saya sangat tidak menyangka sebelumnya. Satu hal yang saya coba ajukan untuk menjawab kekecewaan pribadi saya akan kondisi PSSI saat ini, adalah adanya konspirasi untuk menghadang dan menghentikan pembenahan PSSI. Sang pemilik tampuk singgasana sebelumnya harus diakui mampu memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadap FIFA sampai-sampai dalam beberapa tahun terakhir FIFA tetap berdiam diri saja dengan kenyataan bahwa PSSI dipimpin oleh seorang narapidana di mana itu jelas-jelas adalah sebuah bentuk pelanggaran terhadap Statuta FIFA. Mungkin saja, ada yang memberikan syarat kepada FIFA untuk menjegal calon yang lain dalam Kongres sebelumnya yang beritikad untuk membenahi PSSI, sehingga pihak tersebut bersedia legowo untuk melepaskan cengkeramannya terhadap PSSI melalui ketua umum yang lama.
Namun bila sudah jadi seperti ini, percuma saja untuk mencari siapa yang bicara apa untuk siapa, percuma saja untuk tetap adu ngotot dengan pendirian masing-masing, Komite Normalisasi akan terus berjalan dengan peraturan yang ditetapkan FIFA sementara Kelompok 78 akan terus mengusahakan agar GT dan AP dapat ikut pemilihan, dan di sisi lain pihak yang mengklaim diri sebagai pemegang hak suara yang lain akan berjuang habis-habisan untuk menggolkan agenda politiknya dalam Kongres PSSI ini. Saya hanya bisa berpikir bahwa akan jauh lebih baik bila Bapak George Toissutta dan Bapak Arifin Panigoro sebagai pemilik dukungan terbanyak dalam Kongres dengan diwakili oleh Kelompok 78, muncul dihadapan publik dan bersikap tegas untuk mengakhiri kisruh yang terjadi ini dengan bersedia mengundurkan diri dari pencalonan dan menunjuk salah satu calon yang bisa dipilih dalam Kongres sebagai wakil yang mereka beri mandat dan merepresentasikan kepemimpinan GT dan AP nantinya. Dengan begitu, saya yakin bahwa bila memang Kelompok 78 sebagai pendukung GT dan AP adalah kelompok pendukung pembenahan PSSI dan percaya bahwa melalui kepemimpinan GT dan AP-lah pembenahan tersebut dapat dimulai, maka seharusnya mereka akan mengikuti petunjuk yang diucapkan para pemimpin yang didukungnya tersebut.
Bila memang memiliki komitmen untuk memajukan persepakbolaan Indonesia, bukankah usaha-usaha untuk memajukannya bisa dilakukan tanpa harus menjadi orang yang duduk di tampuk kepemimpinan? Bukankah tak perlu tampil sebagai pemimpin untuk menjadi otak pergerakan apabila dalam tampuk komando sudah ditempati oleh orang yang setia kepada sang pengatur strategi? Sekarang kuncinya ada pada pihak GT dan AP, maukah mereka? Saya berharap mereka dapat melakukannya karena jujur, saya masih percaya dan berharap pada mereka.

Jayalah Indonesia!!
Jayalah Sepakbola Negeriku!!
Jayalah Bangsaku!!!